Semboyan Bhinneka Tunggal Ika
Majapahit merupakan sebuah kerajaan bercorak agraris terbesar di Indonesia.
Keberhasilannya memakmurkan rakyat dan menjalin hubungan kerja sama dengan
dunia luar, menjadikannya suri teladan bagi pemimpin-pemimpin bangsa pasca
kemerdekaan. Presiden Soekarno dan Menteri Pendidikan/Pengajaran Moh. Yamin
bisa disebut sebagai dua orang yang sangat mengagung-agungkan Majapahit.
Sampai kini warisan Majapahit terbilang sangat banyak dan beragam. Warisan
berujud benda tidak bergerak bisa disaksikan disitus Trowulan berupa candi dan
bangunan lain. Meskipun kebanyakan terbuat dari batu bata merah, namun beberapa
candi menampakkan kemegahannya karena telah dipugar untuk kepentingan
pariwisata.
Yang berupa benda bergerak disimpan di Museum Majapahit dan Museum Nasional
di Jakarta. Bahkan banyak koleksi masih berada di museum-museum mancanegara dan
kolektor-kolektor barang antik.
Warisan-warisan nonfisik pun tergolong tidak sedikit. Justru hal inilah
yang tetap lestari sampai sekarang. Berbagai nama seperti Majapatih, Hayam
Wuruk(raja majapahit paling terkenal), dipakai dimana-mana antara lain
diabadikan sebagai nama jalan, nama universitas dan nama produk.
Kalian pasti mengenal semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika”, bukan?
Kata-kata demikian begitu bermakna bagi kita. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”
yang berasal dari bahasa sansekerta
itu merupakan cuplikan dari kata-kata yang pernah diucapkan oleh dewa Siwa dalam kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Sutasoma merupakan karya sastra
terbesar kedua setelah Nagarakretagama. Keduanya
ditulis oleh pujangga istana kerajaan Majapahit.
Dikisahkan, Sutasoma adalah titisan Sanghyang Buddha yang mengajarkan
kepada manusia untuk mengendalikan perasaan. Dia tidak suka menjadi raja.
Karena itu Sutasima lari dari istana dalam usahanya mencari kebenaran sehingga
akhirnya menjadi penyebar agama Buddha.
Di kahyangan lain, raja raksasa Purusada yang gemar makan daging manusia
berjanji akan mempersembahkan 100 orang raja kepada batara Kala apabila lukanya
dapat sembuh. Namun Kala hanya mau persembahan seorang Sutasoma. Sutasoma
sendiri bersedia dijadikan korban asalkan ke-100 orang raja itu dibebaskan.
Akhirnya batara Kala dan Purusadaa sangat terharu menyaksikan keluhuran
budi Sutasoma sehingga sejak saat itu Purusada berjanji tidak akan memakan
daging manusia lagi. Dewa Siwa yang menitis pada Purusada pun meninggalkan
tubuh raksasa itu karena disadarinya bahwa Sutasoma adalah Sang Buddha.
Katanya, mangkajinatwa lawan siwatatwa
tunggal, bhinneka tunggal ika, tan hana dharmma mangrwa, artinya hakikat
Buddha dan hakikat Siwa adalah satu (Kapustakaan Jawi, 1952).
Alkisah, dalam suatu kunjungan ke Bali pada 1962, Presiden Soekarno
berkesempatan menonon pementasan wayang. Ketika usai, beliau kembali terkesan
dengan kata-kata yang dilontarkan sang dalang tadi, yakni “Bhinneka Tunggal
Ika”. Maka beliau mengusulkan agar kata-kata itu dipakai sebagai semboyan
negara.
Bendera
Bila ditelusuri, bendera merah putih yang kita kenal sekarang, sebenernya
juga merupakan warisan dari Kerajaan Majapahit. Sebuah prasasti bertarikh 1294
M menyebutkan bahwa bendera merah putih pernah dikibarkan pada 1292 M oleh
tentara Jayakatwang ketika berperang melawan Singasari.
Menurut kitab Nagarakretagama (ditulis
tahun 1365), warna merah putih selalu digunakan dalam upacara hari kebesaran
raja Hayam Wuruk (1350-1389). Konon, warna merah identik dengan buah maja yang kemudian menjadi asal nama
kerajaan Majapahit. Sedangkan warna putih identik dengan buah kelapa yang
berisi air kehidupan. Merah merefleksikan darah, sementara putih mewakili
tulang. Di Kerajaan Majapahit merah dan putih adalah warna yang dimuliakan.
Warisan-warisan Majapahit tentu saja merupakan kenangan buat kita yang
hidup jauh dari masa lalu. Buah maja memang pahit, namun lebih pahit lagi bila
kita generasi sekarang merusak warisan-warisan berharga itu.
Sahabat merah, itu dia ulasan mengenai semboyan dan bendera Negara kita tercinta Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar