Inggit memang bukan Christina Marta
Tiahahu, Pahlawan wanita dari Maluku atau Jeanne d’Arc, Pahlawan putri Nasional
Perancis yang mengangkat pedang untuk mengusir Inggris dari Tanah Airnya.
Inggit berasal dari Desa kamasan, banjaran, bandung.
Dia tidak pernah mengangkat senjata
apalagi pedang. Walaupun ia hidup sejak zaman penjajahan, tetapi ia tidak
pernah berperang dalam arti fisik sehingga namanya tidak tercantum dalam
sejarah. Pantas saja anak-anak muda zaman sekarang tidak banyak mengenalnya.
Wanita berkulit kuning langsat ini
menikah dengan Bung Karno muda yang saat itu mahasiswa Technische Hogeschool
atau sekarang dikenal dengan ITB. Pada saat itu Sukarno berusia 24 tahun atau
lebih muda 12-13 tahun daripada Inggit garnasih.
Pasangan Inggit Garnasih yang dipanggil
Sukarno dengan julukan “enggit” dan Sukarno dengan panggilan “Kusno” melewati
saat-saat paling sulit pada awal perjuangan merebut kemerdekaan. Sejarah
mencatat, Sukarno beberapa kali
dijebloskan ke penjara lalu dibuang ke Flores dan Bengkulu. Namun sejarah tidak
pernah mencatat, bagaimana “Enggit” tetap setia mendampingin Sukarno dan
memberinya semangat.
Peranan Inggit sebagai istri, tenggelam
oleh kehebatan suaminya, padahal Inggit bukan hanya bisa membahagiakan Sukarno,
tetapi ia juga mampu memberikan dorongan, inspirasi, dan semangat dengan
keyakinan yang tak pernah pupus bahwa suatu saat, cita-cita suaminya yang juga
menjadi cita-cita seluruh bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dapat tercapai.
Inggit memang tidak setengah-setengah
mendukung semangat suaminya. Ia bersedia jalan kaki pergi-pulang
Bandung-Sukamiskin ketika suaminya ditahan dipenjara Sukamiskin. Bahkan Inggit
tetap mendampingin suaminya ketika dibuang ke Flores dan Bengkulu
Nasib rupanya menentukan lain, pada saat
di Bengkulu Sukarno menikah dengan gadis muda Fatimah dan ia harus berpisah
dengan Inggit karena sikap dan pendirian Inggit yang tidak mau dimadu, beberapa
saat sebelum Sukarno memimpin bangsa Indonesia. Inggit hanya mengantarkan
Sukarno kedepan pintu gerbang kemerdekaan Republik Indonesia.
Wanita berhati mulia itu memilih hidup
sendiri, menghabiskan sisa hidupnya dengan berjualan bedak dan jamu yang ia
racik sendiri, sejak itu kesehatannya menurun. Pada tanggal 13 April 1984 ia
dipanggil kehadirat Ilahi dan dimakamkan di pemakaman umum babakan Ciparay,
Kodya bandung.
(sumber : buku kisah istimewa bung karno)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar